Selasa, 01 Maret 2011

Sakit Langka, Separuh Wajah Gadis Ini 'Mati'

VIVAnews - Keceriaan Christine Honeycutt terpancar setiap kali berkunjung ke dokter. Di balik keceriaannya, siapa sangka gadis 11 tahun itu mengidap sebuah gangguan kesehatan sangat langka.

Gadis asal China Grove, North Carolina, ini mengidap sindroma Parry-Romberg. Penyakit langka ini ditandai dengan gangguan sistem kekebalan yang menyerang balik tubuh penderitanya.

Penyakit ini mulai terdeteksi saat Christine berumur lima tahun. Diawali dengan munculnya tanda berwarna abu-abu di batas dahi dan leher, serta memar di area leher. Lewat beberapa kali pemeriksaan medis, dokter menyatakan kemunculan tanda itu tak membahayakan.

Namun, sebuah kejang hebat membuat naluri ibunda Christine, Vicki Honeycutt, bekerja. Sang bunda curiga ada penyakit misterius yang menyerang putrinya. Setelah menjalani pemindaian MRI, terlihat penyusutan di wajah bagian kiri. Sakit itu menggerogoti jaringan subkutan antara tulang, otot dan kulit.

Kulit akan kehilangan elastisitas dan kekencangan akibat sistem imunitas yang menyerang balik. Ini membuat tulang tak dapat tumbuh secara normal. Seiring waktu, satu sisi wajahnya akan menjadi lebih kecil, dan berubah menyerupai kerangka. Tubuh bagian kirinya pun tidak akan berkembang dan mengecil.

Dokter sempat memberitahu bahwa belum ada obat penyakit ini. Karenanya, Christine harus menunggu hingga penyakit mencapai puncak kerusakan sebelum dokter bedah mencoba memperbaiki struktur wajahnya. "Saya merasa ngeri, dan berpikir apakah nantinya anak saya akan terlihat sangat menyeramkan," katanya.

"Saya tak dapat membayangkan apa yang akan terjadi padanya, bagaimana pergaulannya nanti. Saya berpikir semua hal buruk tidak akan terjadi jika wajahnya dapat dipertahankan," ujarnya seperti dikutip Daily Mail.

Naluri keibuan membuat Vicki terus mencari kesembuhan bagi putrinya. Ia tak menyerah dan diam melihat separuh wajah putrinya hancur. Semangat inilah yang mempertemukannya dengan dokter bedah perintis, Dr John Siebert.

Di tangan Siebert, Christine menjalani operasi mengganti jaringan mati dan akan menjalani tiga kali pembedahan untuk menghaluskan rahangnya. Dampak penyakit memang berlangsung terus menerus, namun Siebert menyatakan operasi dapat mengontrol dampak kerusakan. Penyakit langka ini diperkirakan hanya menimpa 700 pasien di seluruh dunia. Penyakit otoimun progresif kebanyakan mempengaruhi anak perempuan usia antara lima hingga 15 tahun, tapi bisa juga terjadi pada orang dewasa.

Dari pengalamannya, Vicki Honeycutt berharap untuk membantu orang lain yang mengalami kondisi langka dan memulai sebuah organisasi nirlaba Christine Champion's for Hope. "Anak ini sangat luar biasa. Kami ingin membantu anak-anak lainnya."

Sakit Langka, Wajah Gadis Ini Bak Serigala

VIVAnews - Supatra Sasuphan sudah kebal dengan sapaan 'wajah monyet' atau 'gadis serigala'. Gadis 11 tahun asal Thailand ini tak lagi hirau dengan rambut lebat yang menutupi hampir seluruh permukaan wajahnya, kecuali mata dan area mulut.

Ia tampak sudah berdamai dengan pertumbuhan rambut liar yang juga merayapi permukaan punggungnya. "Saya sudah terbiasa dengan kondisi ini. Saya sepertinya tidak lagi merasakan keberadaan rambut-rambut tersebut," ujarnya kepada Britain's Daily Mail, seperti dikutip dari laman NY Daily News.
Kepercayaan dirinya malah meningkat seiring popularitas. Apalagi, setelah Guinness World Record mencatat namanya sebagai gadis pemilik rambut terbanyak di dunia, 2010. Predikat ini sukses menghapus ejekan orang di sekelilingnya. "Sekarang tidak ada lagi yang memanggil saya dengan muka monyet," ujarnya.

Dad Sammrueng, sang ayah, mengatakan bahwa putri mengalami kelainan itu sejak lahir. Dunia medis menyebutnya dengan sindroma Ambras, berupa penyakit bawaan akibat mutasi kromosom. Sebuah artikel di National Naval Center menyebut, sindroma ini menimpa kurang dari 50 orang di dunia.

Sindroma langka itu membuat Supatra kesulitan bernapas saat lahir. Ia harus menjalani dua kali operasi untuk membantunya bernapas. "Lubang hidungnya hanya satu milimeter. Dia berada di dalam inkubator selama tiga bulan dan menjalani operasi pembesaran lubang hidung menjadi satu setengah milimeter," ujar Dad.
 Supatra Sasuphan 
Terlepas dari masalah psikologis, pertumbuhan rambut liar juga menimbulkan gangguan penglihatan. "Terkadang, saya sulit melihat jika rambut saya terlalu panjang," ujarnya.

Sudah beragam metode penghilang bulu ia coba, termasuk penggunaan laser. Namun, tak ada yang membuahkan hasil. Pertumbuhan rambut di tubuhnya tetap tak terkendali. Ia harus menerima kenyataan bahwa dokter belum berhasil menemukan penawar sindroma tersebut.

Berhasil melewati masa kritis di awal kehidupannya, Supatra tumbuh sehat. Dia sangat menyukai menari, menonton kartun, dan mendengarkan musik. Dia juga memiliki cita-cita yang tidak kalah dari anak sebayanya. "Saya ingin menjadi dokter sehingga saya bisa menolong pasien ketika mereka terluka," ujarnya. "Saya harap suatu hari saya dapat disembuhkan."

VIDEO: Dan Riedl pun Menangis

Tegas dan galak soal disiplin, tapi Alfred Riedl juga bisa menangis.

     
VIVAnews - Pelatih tim nasional Alfred Riedl dikenal dengan sikapnya yang keras, tegas, dan menerapkan disiplin tinggi. Dia tak segan mencoret Boaz Salossa dan menegur keras Okto Maniani, dua pemain yang disanjung banyak pecinta sepak bola di negeri ini.

Tapi sekeras apapun perangai Riedl dia tetap saja bisa menangis. Dia tidak kuasa menitikkan air mata saat bertemu lagi dengan pendonor ginjalnya di acara 'Satu Jam Lebih Dekat' yang ditayangkan di tvOne.

Sudah lebih dari 10 tahun, Riedl bermasalah dengan ginjalnya hingga memutuskan untuk melakukan cangkok ginjal saat membesut timnas Vietnam pada 2006. Tanpa disangka, masyarakat Vietnam yang punya empati kepadanya bersedia mendonorkan satu organ tubuh vital tersebut.

Operasi akhirnya bisa dilakukan pada Maret 2007. Riedl pun bisa kembali sehat tanpa harus bolak balik ke rumah sakit untuk melakukan cuci darah. "Ini emosi. Anda membawa dia ke sini," kata Riedl saat berjumpa dengan pria pendonor ginjal.

Menurut Riedl, orang yang bermasalah dengan ginjal yang tidak mendapat donor harus melakukan cuci darah tiga kali selama seminggu. Si penderita ginjal, kata dia, meski tidak meninggal tetapi harus menderita seumur hidup. "Dia menyelamatkan hidup saya," kata Riedl.